Kenapa Harus Uang Rakyat?

Jumat, 25 Mei 2012



“Kalian harusnya menyadari, bahwa kalian bisa kuliah itu karena dibiayai oleh uang rakyat!”
“ Beasiswa yang kalian dapatkan ini adalah dari uang rakyat! Jangan menyia-nyiakannya!”
“Kalian kuliah dibiayai oleh uang rakyat, maka kalian harus mengembalikannya pada masyarakat!”

...
Bosan.
Ya, bosan. Jujur saja, saya bosan mendengar retorika-retorika sejenis itu di tengah-tengah kehidupan kampus. Entah retorika itu keluar dari mulut anggota BEM, Himpunan Mahasiswa, Organisasi, atau mungkin dosen dan sejenisnya. Bosan mendengar kata-kata itu terus menerus dikatakan seolah-olah itu hal yang benar saja untuk dilakukan. Bosan mendengar orang-orang yang katanya membela rakyat justru malah mengorbankan rakyat sendiri.
Lho? Apa yang salah dengan kalimat itu? Bukannya memang benar demikian? Ah, kalau saja mereka mau berfikir sedikit, mereka seharusnya mempertanyakan sesuatu. Sesuatu yang sejak pertama kali saya mendengarnya, saya sudah tergelitik : Kenapa harus uang rakyat??
Entah hanya di kampus saya (yang memang dikenal sebagai kampus kerakyatan, meski faktanya patut dipertanyakan), atau mungkin di kampus-kampus lain juga. Slogan-slogan seperti itu selalu muncul dalam berbagai acara resmi, seperti misalnya Ospek. Ketua BEM akan beretorika tentang hal yang sama, bahwa mahasiswa bisa berkuliah karena biaya yang ditarik dari rakyat, dari keringat rakyat. Begitu pula dalam berbagai seminar resmi yang melibatkan antara pihak universitas dengan mahasiswa, sering sekali retorika ini dimunculkan.
Dalam sebuah pelatihan bagi para penerima beasiswa yang baru-baru ini saya ikuti, pernyataan ini kembali muncul. Pembicara membeberkan bagaimana beasiswa itu merupakan uang rakyat, bahwasanya para mahasiswa mendapatkan biaya dengan nominal sebsar itu merupakan hasil dari keringat rakyat, dan sebagai mahasiswa sudah seharusnya berkontribusi maksimal untuk rakyat yang telah susah payah membiayai beasiswa tersebut.
Ya, kalau dilihat sekilas memang luar biasa dan mulia. Luar biasa, karena rakyat bisa membayari para mahasiswa yang berkuliah, padahal biayanya sudah luar biasa mencekik. Mulia, karena rakyat mau-mau saja membiayai para mahasiswa yang dianggap mampu memberikan perubahan pada rakyat kecil. Itu semua, kalau dilihat secara sekilas.
Sementara kalau dipikir sedikit lebih mendalam, sebenarnya ini merupakan hal yang luar biasa aneh. Dengan asumsi bahwa benar rakyat yang membayari para mahasiswa kuliah lewat pajak yang ditarik dari mereka, maka pada hakikatnya justru ini merupakan suatu tindakan yang kurang ajar. Kenapa rakyat yang harus membiayai kuliah dan memberi beasiswa untuk para mahasiswa? Kenapa rakyat yang harus memeras keringat demi keberlangsungan perkuliahan, sementara mungkin anak-anaknya sendiri tidak mampu untuk dibiayai kuliahnya? Dan lebih dari itu, kenapa orang-orang yang beretorika demikian terkesan ridha saja dengan kondisi seperti ini?
Dalam hal ini rakyat membayar pajak pada pemerintah, tidak perduli berapapun miskinnya dia, dan masuk ke dalam APBN (patut dicatat, 70% APBN negara berasal dari pajak). Lalu 20% dari APBN masuk ke bidang pendidikan, termasuk universitas dan beasiswa yang diberikan pemerintah. Karena alokasi dari APBN tidak diketahui, apakah dana pendidikan diambil dari pemasukan pajak atau non-pajak, maka asumsikan saja bahwa pemasukan pajak juga termasuk dalam alokasi untuk dana pendidikn. Artinya, memang rakyat yang seolah membiayai keberlangsungan universitas dan lainnya.  Tapi kenapa? Kenapa harus rakyat yang melakukannya?
Islam memandang bahwa pendidikan adalah kewajiban seluruh individu rakyatnya. Negara merupakan institusi yang wajib untuk menyediakan seluruh fasilitas yang dibutuhkan para mahasiswa untuk menuntut ilmu di tempat yang bersangkutan. Bahkan negara sudah seharusnya memastikan bahwa pendidikan itu bebas biaya, sehingga tidak ada yang kesulitan lagi untuk menuntut ilmu.
Setelah Perang Badar, sebagian tawanan musuh yang tidak sanggup menebus pembebasannya diharuskan mengajarkan baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya. Ini merupakan suatu pernyataan jelas bahwa negara merupakan pihak yang bertanggungjawab untuk memberi rakyatnya pendidikan. Selain itu, dalam sejarah peradaban Islam, negara benar-benar menjamin pendidikan bagi rakyatnya, tanpa terkecuali.
Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan  pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan “iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).
Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Universitas Nizhamiyah dan Universitas al-Mustanshiriyah di Baghdad, Universitas an-Nuriyah di Damaskus, serta Universitas An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah al-Mustanshir pada abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat. Para mahasiswa diberikan asrama, pakaian ganti, bahkan makanan gratis selama menempuh perkuliahan di universitas tersebut.
Pada era Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Muhammad al-Fatih juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu.
Begitu pula di Spanyol. Khalifah Hakam bin Abdurrahman an-Nashir mendirikan Universitas Cordoba yang menampung mahasiswa muslim dan Barat dengan gratis. Semua itu, mampu diberikan negara tanpa harus menarik pajak atau iuran apapun dari rakyatnya. Dengan kata lain, mereka tidak mengorbankan rakyat demi terlaksananya pendidikan.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Pada masa peradaban Islam, negara mampu mengelola negara dengan aturan yang benar. Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Baitul Mal. Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan) berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur.
Dalam sumber pendapatannya sendiri, terdapat 2 sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu: 1. pos fai’ dan kharaj—yang merupakan kepemilikan negara—seperti ghanîmah, khumuûs (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharîbah (pajak); 2. Pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama: untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua: untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya.
Adapun jika ada anggota masyarakat yang ingin memberikan wakafnya pada pendidikan, hal ini boleh-boleh saja atas dasar kerelaan pribadi, bukan paksaan seperti saat ini. Dan ketika negara tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan dari sumber pendapatan di atas, dan dikhawatirkan terjadi efek negatif jika terjadi penundaan pembayarannya, barulah negara voleh berhutang dan dilunasi dengan menarik pajak dari rakyat. Dengan kata lain, pajak merupakan jalan paling terakhir jika semua cara pembiayaan tidak memenuhi kebutuhan.
Demikian sekelumit bagaimana Islam memandang pendidikan dan bagaimana cara negara menjamin pendidikan bagi rakyatnya. Tanpa harus memaksa rakyat untuk membayar pajak dan iuran (kecuali benar-benar darurat), negara mampu memberikan fasilitas pendidikan secara cuma-cuma tanpa terkecuali, bahkan pada mahasiswa asing sekalipun. Namun mengapa hal yang sama tidak bisa terjadi saat ini? Apa yang salah?
Permasalahan pendidikan yang terjadi saat ini merupakan buah dari kebijakan Pemerintah yang mengadopsi ideologi neo-liberalisme. Sebagai salah satu varian Kapitalisme—seperti Keynesian yang mengutamakan intervensi pemerintah—neo-liberalisme justru sebaliknya. Neo-liberalisme merupakan bentuk baru liberalisme klasik dengan tema-tema pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme. Negara membiarkan asing masuk dengan leluasa untuk menguasai sumber-sumber pemasukan negara, yang secara syar’i tidak boleh diserahkan pada asing. Akibatnya, negara menjadi kekurangan pemasukan dan dengan dalih itu, melegalkan penarikan pajak dari rakyat melalui berbagai metode.
Jadi, sebenarnya tak perlulah ”uang rakyat” yang dikorbankan untuk membiayai pendidikan. Melihat potensi yang ada di Indonesia saat ini, mewujudkan pendidikan gratis tanpa mengorbankan “uang rakyat” adalah sangat memungkinkan. Sayangnya kesalahan pengelolaan akibat salah menerapkan sistem membuat pendidikan seperti ini tidak terwujud. Alih-aloh mengelola sendiri segala potensi sumber daya alam dan kepemilikian umum, negara malah membiarkannya dikuasai asing.
Maka untuk mewujudkan pendidikan tanpa mengorbankan “uang rakyat” ini, sudah seharusnya syari’at Islam yang diterapkan untuk mengelola negeri ini, dalam naungan Khilafah Islamiyah. Bukan hanya separuhnya, tapi seluruh syari’at islam tanpa kecuali. Sungguh, setiap kerusakan yang terjadi di bumi ini adalah akibat dari dicampakkannya syari’at Allah dalam kehidupan.
Dan untuk yang masih beretorika seperti saya sebutkan di awal tulisan, sebaiknya berpikirlah untuk merubah keadaan secara menyeluruh, bukan hanya seperti demikian. Berkontribusi tidak dilarang, justru sangat bagus. Tapi “kontribusi” yang dimaksud tidak cukup untuk merubah keadaan. Mungkin ada baiknya kalimatnya diganti, misalnya menjadi, “Kalian kuliah dibiayai oleh uang rakyat, dan ini merupakan suatu kezaliman terhadap mereka! Mari rubah sistem ini agar mereka tak perlu dikorbankan lagi demi kita!”
Nah, bukannya yang seperti itu lebih enak? [eramuslim.com]



Andhika Putra Dwijayanto
Mahasiswa S1 Teknik Nuklir UGM
hilal_alhazen@ovi.com
@andhika_alhazen

0 komentar:

Posting Komentar

 
 
 
free counters

Entri Populer